Ciri-ciri Sistem Ekonomi Neoliberalisme
Memfokuskan
pada metode pasar bebas
Pembatasan
yang sedikit terhadap perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi.
Dalam
kebijakan luar negeri, neoliberalisme erat kaitannya dengan pembukaan
pasar luar negeri melalui cara-cara politis, menggunakan tekanan ekonomi,
diplomasi, dan/atau intervensi militer.
Pembukaan
pasar merujuk pada perdagangan bebas.
Pengurangan
Subsidi
Mengutamakan
Privatisasi/Penjualan BUMN
Deregulasi/Penghilangan
campur tangan pemerintah
pengurangan
peran negara dalam layanan sosial (Public Service) seperti
pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Neoliberalisme bertujuan mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasaratau perdagangan bebas (pasar bebas), dengan pembenaran mengacu pada kebebasan.
Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya.
Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.
Bentuk-bentuk hambatan perdangangan antara lain:
Tarif
atau bea cukai
Kuota
yang membatasi banyak unit yang dapat diimpor untuk membatasi jumlah
barang tersebut di pasar dan menaikkan harga
Subsidi
yang dihasilkan dari pajak sebagai bantuan pemerintah untuk produsen lokal
Muatan
lokal
Peraturan
administrasi
Peraturan
antidumping.
Sejarah dan Karakteristik Pelaksanaan Neoliberalisme
Neoliberalisme dikembangkan tahun 1980 oleh IMF, Bank Dunia, dan Pemerintah AS (Washington Consensus). Bertujuan untuk menjadikan negara berkembang sebagai sapi perahan AS dan sekutunya/MNC.
“Pasar Modal” (Pasar Uang, Pasar Saham, dan Pasar Komoditas) adalah prioritas utama.Neoliberalisme lebih mengutamakan sektor keuangan (Makro) daripada sektor riel. Di Indonesia sekitar Rp 60 Trilyun/tahun untuk pemilik SBI/SUN.
Memberikan “kebijakan” pinjaman hutang dengan syarat agenda Neoliberalisme bagi dunia. Penghargaan diberikan bagi negara yang taat dan hukuman bagi yang membangkang. Afghanistan, Iraq, Korea Utara, dan Iran adalah contoh utama.
Sistem Neoliberalisme melarang campur tangan negara terhadap pengusaha/spekulan. Contohnya negara-negara di seluruh dunia tidak berkuasa menghentikan spekulasi minyak.
Neoliberalisme dikembangkan tahun 1980 oleh IMF, Bank Dunia, dan Pemerintah AS (Washington Consensus). Bertujuan untuk menjadikan negara berkembang sebagai sapi perahan AS dan sekutunya/MNC.
“Pasar Modal” (Pasar Uang, Pasar Saham, dan Pasar Komoditas) adalah prioritas utama.Neoliberalisme lebih mengutamakan sektor keuangan (Makro) daripada sektor riel. Di Indonesia sekitar Rp 60 Trilyun/tahun untuk pemilik SBI/SUN.
Memberikan “kebijakan” pinjaman hutang dengan syarat agenda Neoliberalisme bagi dunia. Penghargaan diberikan bagi negara yang taat dan hukuman bagi yang membangkang. Afghanistan, Iraq, Korea Utara, dan Iran adalah contoh utama.
Sistem Neoliberalisme melarang campur tangan negara terhadap pengusaha/spekulan. Contohnya negara-negara di seluruh dunia tidak berkuasa menghentikan spekulasi minyak.
Setelah dijabarkan di atas,terserah
Anda untuk menentukan apakah Indonesia tidak,atau hampir ataukah sudah
menganut Sistem Ekonomi Neoliberal...
PERBEDAAN EKONOMI KERAKYATAN DAN EKONOMI NEOLIBERALISME
Ekonomi kerakyatan sangat berbeda dari
neoliberalisme. Neoliberalisme, sebagaimana dikemas oleh ordoliberalisme,
adalah sebuah sistem perekonomian yang dibangun di atas tiga prinsip sebagai
berikut:
(1) tujuan utama ekonomi
neoliberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara
bebas-sempurna di pasar;
(2) kepemilikan pribadi
terhadap faktor-faktor produksi diakui; dan
(3) pembentukan harga
pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang
dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang (Giersch, 1961).
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut
maka peranan negara dalam neoliberalisme dibatasi hanya sebagai pengatur dan
penjaga bekerjanya mekanisme pasar. Dalam perkembangannya, sebagaimana dikemas
dalam paket Konsensus Washington, peran negara dalam neoliberalisme
ditekankan untuk melakukan empat hal sebagai berikut:
(1)
pelaksanaan
kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi;
(2)
liberalisasi
sektor keuangan;
(3)
liberalisasi
perdagangan; dan
(4) pelaksanaan
privatisasi BUMN (Stiglitz, 2002).
Sedangkan ekonomi kerakyatan,
sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem
perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang
ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut:
(1) perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan;
(2) cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara; dan
(3) bumi, air, dan segala
kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut
dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam sistem ekonomi
kerakyatan. Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34,
peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal
sebagai berikut:
(1) mengembangkan
koperasi
(2) mengembangkan BUMN;
(3) memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala
kekayaan yang terkandung didalamnya bagi
APA YANG HARUS KITA PERBUAT UNTUK BANGSA INDONESIA INI
Pertanyaannya, bagaimanakah situasi
perekonomian Indonesia saat ini? Artinya, sebagai amanat konstitusi, sejauh
manakah ekonomi kerakyatan telah dilaksanakan di Indonesia. Sebaliknya,
benarkah perekonomian Indonesia lebih didominasi oleh pelaksanaan agenda-agenda
ekonomi neoliberal sebagaimana banyak diperbincangkan belakangan ini?
Dua hal berikut perlu mendapat
perhatian dalam menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, sebagai sebuah
negara yang mengalami penjajahan selama 3,5 abad, perekonomian Indonesia tidak
dapat mengingkari kenyataan terbangunnya struktur perekonomian yang bercorak
kolonial di Indonesia. Sebab itu, ekonomi kerakyatan pertama-tama harus
dipahami sebagai upaya sistematis untuk mengoreksi struktur perekonomian yang
bercorak kolonial tersebut. Kedua, liberalisasi bukan hal baru bagi
Indonesia, tetapi telah berlangsung sejak era kolonial.
Berangkat dari kedua catatan tersebut,
secara singkat dapat saya kemukakan bahwa perjuangan bangsa Indonesia untuk
melaksanakan ekonomi kerakyatan bukanlah perjuangan yang mudah. Kendala
terbesar justru datang dari pihak kolonial. Sejak bangsa Indonesia
memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pihak kolonial hampir terus
menerus mensubversi upaya bangsa Indonesia untuk melaksanakan ekonomi
kerakyatan.
Secara ringkas, subversi-subversi yang
dilakukan oleh pihak kolonial untuk mencegah terselenggaranya ekonomi
kerakyatan itu adalah sebagai berikut.
Pertama, terjadinya agresi I
dan II pada 1947 dan 1948. Tujuan utamanya adalah untuk mencegah berdirinya
NKRI yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.
Kedua, dipaksanya bangsa
Indonesia untuk memenuhi tiga syarat ekonomi guna memperoleh pengakuan
kedaulatan dalam forum Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Ketiga syarat
ekonomi itu adalah: (1) bersedia menerima warisan utang Hindia Belanda sebesar
4,3 milliar gulden; (2) bersedia mematuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
oleh Dana Moneter Internasional (IMF); dan (3) bersedia mempertahankan
keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.
Ketiga, dilakukannya
berbagai tindakan adu domba menyusul dilakukannya tindakan pembatalan KMB
secara sepihak oleh pemerintah Indonesia pada 1956. Tindakan-tindakan itu
antara lain terungkap pada meletusnya peristiwa PRRI/Permesta pada 1958.
Keempat, diselundupkannya
sejumlah sarjana dan mahasiswa ekonomi Indonesia ke AS untuk mempelajari ilmu
ekonomi yang bercorak liberal-kapitalistis sejak 1957. Para ekonom yang
kemudian dikenal sebagai Mafia Berkeley ini sengaja dipersiapkan untuk
mengambil alih kendali pengelolaan perekonomian Indonesia pasca penggulingan
Soekarno pada 1966.
Kelima, dilakukannya
sandiwara politik yang dikenal sebagai proses kudeta merangkak terhadap
Soekarno pada 30 September 1965, yaitu pasca terbitnya UU No. 16/1965 pada
Agustus 1965, yang menolak segala bentuk keterlibatan modal asing di Indonesia.
Keenam, dipaksanya Soekarno
untuk menandatangani empat UU sebelum ia secara resmi dilengserkan dari
kekuasaanya. Keempat UU itu adalah: (1) UU No. 7/1966 tentang penyelesaian
masalah utang-piutang antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda; (2)
UU No. 8/1966 tentang pendaftaran Indonesia sebagai anggota ADB; (3) UU No.
9/1966 tentang pendaftaran kembali Indonesia sebagai anggota IMF dan Bank
Dunia; dan (4) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA).
Ketujuh, dibangunnya sebuah
pemerintahan kontra-revolusioner di Indonesia sejak 1967. Melalui pemerintahan
yang dipimpin oleh Soeharto ini, para ekonom “Mafia Berkeley” yang sejak
jauh-jauh hari telah dipersiapkan oleh AS, secara sistematis berusaha
membelokkan orientasi penyelenggaraan perekonomian Indonesia dari ekonomi
kerakyatan menuju ekonomi pasar neoliberal. Tindakan pembelokan orientasi
tersebut didukung sepenuhnya oleh IMF, Bank Dunia, USAID, dan ADB dengan cara
mengucurkan utang luar negeri.
Kedelapan, dilakukannya proses
liberalisasi besar-besaran sejak 1983, yaitu melalui serangkaian kebijakan yang
dikemas dalam paket deregulasi dan debirokratisasi.
Kesembilan, dipaksannya Soeharto
untuk menandatangani pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara
terinci melalui penandatanganan nota kesepahaman dengan IMF pada 1998, yaitu
sebelum ia secara resmi dipaksa untuk mengakhiri kekuasannya melalui sebuah
gerakan politik yang dikenal sebagai gerakan reformasi. Perlu diketahui, dalam
sejarah perekonomian Inggris, gerakan reformasi serupa dimotori antara lain oleh
David Hume, Adam Smith, David Ricardo, Thomas R. Malthus, dan John S. Mill
(Giersch,1961).
Kesepuluh, dilakukannya
amandemen terhadap Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional
sistem ekonomi kerakyatan pada 2002. Melalui perdebatan yang cukup sengit, ayat
1, 2, dan 3, berhasil dipertahankan. Tetapi kalimat penting yang terdapat dalam
penjelasan Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, “Bangun perusahaan yang sesuai
dengan itu ialah koperasi,” turut menguap bersama hilangnya penjelasan pasal
tersebut.
Menyimak kesepuluh tindakan subversi
itu, mudah dipahami bila dalam 64 tahun setelah proklamasi, sistem ekonomi
kerakyatan tidak pernah berhasil diselenggaran di Indonesia. Perjalanan
perekonomian Indonesia selama 64 tahun ini justru lebih tepat disebut sebagai
sebuah proses transisi dari kolonialisme menuju neokolonialisme. Proses
transisi itulah antara lain yang menjelaskan semakin terperosok perekonomian
Indonesia ke dalam penyelenggaraan agenda-agenda ekonomi neoliberal dalam
beberapa waktu belakangan ini. Bahkan, utang dalam dan luar negeri pemerintah
yang pada akhir pemerintahan Soeharto berjumlah US$54 milyar, belakangan
membengkak menjadi US$165 milyar.
Perlu diketahui, penyelenggaraan
agenda-agenda ekonomi neoliberal itu antara lain tertangkap tangan melalui
pembatalan seluruh atau beberapa pasal yang terdapat dalam tiga produk
perundang-undangan, yang terbukti melanggar konstitusi, sebagai berikut: (1) UU
No. 20/2002 tentang Kelistrikan; (2) UU No. 22/2001tentang Minyak Bumi dan Gas
Alam (Migas); dan (3) UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Apa Yang Harus
Dilakukan?
Menyimak berbagai kenyataan tersebut,
dapat disaksikan betapa sangat beratnya tantangan yang dihadapi bangsa
Indonesai dalam melaksanakan amanat konstitusi untuk mewujudkan ekonomi
kerakyatan di Indonesia. Bahkan, jika dibandingkan dengan era kolonial, tantangan
yang ada saat ini justru jauh lebih berat. Pertama, pihak kolonial
sebagai musuh utama ekonomi kerakyatan tidak hadir secara kasat mata. Kedua,
berlangsungnya praktik pembodohan publik secara masif melalui praktik
penggelapan sejarah sejak 1966/1967. Ketiga, terlembaganya sistem “cuci
otak” yang bercorak neoliberal dan anti ekonomi kerakyatan pada hampir semua
jenjang pendidikan di Indonesia. Keempat, setelah mengalami proses
pembelokan orientasi pada 1966/1967, keberadaan struktur perekonomian yang bercorak
kolonial di Indonesia cenderung semakin mapan. Kelima, setelah
melaksanakan agenda ekonomi neoliberal secara masif dalam 10 tahun belakangan
ini, cengkeraman neokolonialisme terhadap perekonomian Indonesia cenderung
semakin dalam.
Walaupun demikian, tidak berarti sama
sekali tidak ada harapan. Harapan untuk kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan
tersebut setidak-tidaknya dapat disimak dalam lima hal sebagai berikut. Pertama,
mencuatnya perlawanan terhadap hegemoni AS dari beberapa negara di Amerika
Latin dan Asia dalam satu dekade belakangan ini. Yang menonjol diantaranya
adalah Venezuela dan Bolivia di Amerika Latin, serta Iran di Asia. Kedua,
mulai terlihatnya gejala pergeseran dalam peta geopolotik dunia, yaitu dari
yang bercorak unipolar menuju tripolar, sejak munculnya Uni Eropa dan
kebangkitan ekonomi Cina. Ketiga, berlangsungnya krisis kapitalisme
internasional yang dipicu oleh krisis kapitalisme AS sejak 2007 lalu. Keempat,
meningkatnya kerusakan ekologi di Indonesia pasca dilakukannya eksploitasi
ugal-ugalan dalam rangka neokolonialisme dan neoliberalisme dalam 40 tahun
belakangan ini. Dan kelima, meningkatnya kesenjangan sosial dan ekonomi
dalam perekonomian Indonesia.
Pertanyaannya adalah, tindakan jangka
pendek, jangka menengah , dan jangka panjang apa sajakah yang perlu dilakukan
untuk memastikan berlangsunya suatu proses kebangkitan kembali ekonomi
kerakyatan dimasa datang? Untuk memperoleh jawaban yang akurat, terutama untuk
jangka menengah dan jangka panjang, tentu diperlukan suatu pengkajian dan
diskusi yang cukup luas. Tetapi untuk jangka pendek, terutama bila dikaitkan
dengan akan segera berlangsungnya proses pemilihan presiden pada Juli
mendatang, jawabannya mungkin bisa dirumuskan secara lebih sederhana. Dengan
mengatakan hal itu tidak berarti bahwa perjuangan untuk mewujudkan ekonomi
kerakyatan sangat tergantung pada siklus lima tahun pergantian kepemimpinan
nasional. Ada atau tidak ada pergantian kepemimpinan nasional, perjuangan untuk
mewujudkan ekonomi kerakyatan harus tetap berlanjut. Namun demikian, siklus
pergantian kepemimpinan nasional harus dimanfaatkan secara optimal sebagai
momentum strategis untuk mempercepat proses kebangkitan kembali tersebut.
Singkat kata, dalam rangka mempercepat
kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan, adalah kewajiban setiap patriot ekonomi
kerakyatan untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih bukanlah pasangan
calon pemimpin yang secara jelas mengimani dan mengamalkan neoliberalisme.
Dukungan yang lebih besar harus diberikan kepada pasangan calon pemimpin yang
secara jelas dan tegas mengungkapkan komitmen mereka untuk menyelenggarakan
sistem ekonomi kerakyatan di Indonesia.
Daftar Pustaka
______________, tanpa tahun. Hasil-hasil
Konferensi Medja Bundar Sebagaimana Diterima
Pada Persidangan Umum Jang Kedua
Terlangsung Tanggal 2 Nopember 1949 di Ridderzaal di Kota ‘S-Gravenhage. Djakarta: Kolff
Baswir, Revrisond, 2005.
Neoliberalisme Malu-malu. Bisnis Indonesia, 6 Februari
Baswir, Revrisond, 2008. Ekonomi
Kerakyatan: Amanat Konstitusi Untuk Mewujudkan
Demokrasi Ekonomi di Indonesia, dalam
(Sarjadi dan Sugema eds.) Ekonomi Konstitusi. Jakarta: Sugeng Sarjadi
Syndicate
Glassburner B, 1971. Indonesian
Economic Policy After Soekarno. In (Glassburner B, eds). The Economy of
Indonesia: Selected Readings. Ithaca: Cornel University Press, pp 426-443
Giersch, Herbert, 1968. Politik Ekonomi,
diterjemahkan oleh Samik Ibrahim dan Nadirsjah Tamin, Jakarta: Kedutaan Besar
Jerman
Goerge, Susan, 1999.
A Short History of Neoliberalism: Twenty Years of Elite Economics and Emerging
Opportunities For Structural Change, http://www.milleniumround.org
Hatta, Mohammad, 1985. Membangun
Ekonomi Indonesia. Jakarta: Inti Idayu Press
Higgins B, 1957. Indonesia’s: Economic
Stabilization and Development. New York: Institute
of Pacific Relation.
Hudson M, 2003. Super Imperialism:
The Origin and Fundamentals of US World Dominance. London: Pluto Press.
Kanumoyoso B, 2001. Nasionalisasi
Perusahaan Belanda di Indonesia. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Keynes, J. Maynard, 1991. Teori
Umum Mengenai Kesempatan Kerja, Bunga, danUang, diterjemahkan oleh Willem
H. Makaliwe, Yogyakarta: GadjahMada University Press
Palmer I, 1978. The Indonesia
Economy Since 1965: A Case Study of Political Economy.
London: Frank Cass.
Smit, C., 1976.
Dekolonisasi Indonesia: Fakta dan Ulasan. Jakarta: Pustaka Azet
Soekarno, 1964. Di Bawah Bendera
Revolusi, Jilid I dan II, cetakan ketiga. Jakarta: Panitia
Penerbit DBR
Stiglitz, Joseph E., 2002. Globalisation
and Its Discontent, New York: WW Norton and Company